Trans7 minta maaf setelah program "Xpose Uncensored" dicap melecehkan Pondok Pesantren Lirboyo.
Oleh: Bratasena, Jurnalis Investigasi Utama 17 Oktober 2025
JAKARTA— Sebuah badai kritik menerjang industri penyiaran Indonesia. Pemicunya? Tayangan sensasional dari program investigasi Trans7, “Xpose Uncensored,” pada 13 Oktober 2025, yang dinilai tidak hanya dangkal, tetapi juga secara fundamental salah dalam menafsirkan marwah dan filosofi kehidupan di Pondok Pesantren (Ponpes). Fokus liputan yang menyorot Ponpes Lirboyo, Kediri, institusi pendidikan Islam legendaris, memicu amarah jutaan santri, alumni, dan tokoh agama hingga melahirkan tagar masif #BoikotTrans7.
Bukan sekadar kesalahan kecil, narasi yang dibangun Trans7 dianggap menyentuh simbol suci dalam tradisi pesantren: Adab kepada Kiai. Melalui lensa sinisme yang tajam, stasiun televisi ini mencoba menggiring opini publik bahwa penghormatan tulus santri kepada gurunya adalah cerminan dari “feodalisme” dan “praktik gelap” demi keuntungan materi. Sebuah tuduhan yang menyayat hati, merusak citra, dan menuntut pertanggungjawaban media atas kegagalan dalam melakukan riset mendalam.
JURANG KESALAHAN FATAL: Membaca Pesantren dengan Kacamata Sinis
Inti dari kontroversi ini terletak pada dua poin krusial yang diangkat Trans7: cara santri menghormat kiai dan isu ‘amplop’ yang dikaitkan dengan kekayaan pengasuh pesantren.
1. Adab Bukan Feodalisme: Filosofi Ta’dhim yang Disalahpahami
Trans7 menayangkan adegan di mana santri, bahkan bapak-bapak alumni, melakukan tawadhu’ (merendahkan diri), seperti menunduk atau ‘ngesot’ saat berhadapan dengan Kiai Sepuh Lirboyo, KH. Anwar Manshur, diikuti dengan aksi mencium tangan.
- Narasi Trans7: Pengisi suara dan alur cerita secara tersirat menuduh ritual ini sebagai simbol kekuasaan feodal yang mengharuskan kepatuhan buta dan merendahkan.
- Fakta Sebenarnya (Data Akademik & Kultural): Guru Besar UIN Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menegaskan bahwa liputan tersebut melihat pesantren dengan “kacamata kuda” (Sumber: Republika Online, 14/10/2025). Dalam tradisi pesantren, tindakan ta’dhim adalah manifestasi Adab—etika yang jauh lebih tinggi dari sekadar sopan santun. Adab kepada guru (Kiai) adalah syarat utama (manahil) dalam mencari ilmu. Itu adalah sebuah praktik spiritual yang diyakini membuka pintu keberkahan dan kemudahan dalam menerima ilmu. Hubungan Kiai-Santri adalah hubungan rohani, di mana santri mencari ilmu tidak hanya dari otak Kiai, tetapi juga dari hati dan akhlaknya. Membandingkan tradisi suci ini dengan feodalisme adalah bukti ketidakmampuan Trans7 memahami akar budaya dan spiritualitas bangsa sendiri.
2. Mitos Amplop dan Mobil Mewah: Ngalap Berkah yang Difitnah
Bagian lain yang memicu kemarahan adalah framing narasi yang menghubungkan pemberian amplop santri/alumni saat sowan dengan klaim kekayaan Kiai, yang kemudian dibandingkan dengan tampilan mobil mewah.
- Narasi Trans7: Judul segmen yang diangkat adalah: “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok? Kiainya Yang Kaya Raya, Tapi Umatnya Yang Kasih Amplop.” (Sumber: Republika Online, 16/10/2025). Judul ini sangat provokatif, memojokkan Kiai sebagai sosok yang mengambil keuntungan dari kesusahan umat.
- Fakta Sebenarnya (Data Sosial & Agama): Pemberian ‘amplop’ saat sowan adalah tradisi ‘Ngalap Berkah’ atau Sedekah kepada ulama. Ini adalah bentuk penghargaan tulus, keyakinan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi, dan upaya agar harta yang diberikan menjadi berkah. Mayoritas Kiai, terutama di pesantren salaf seperti Lirboyo, dikenal dengan kesederhanaannya. Mereka memang memimpin komunitas besar dan kadang memiliki usaha/aset, namun menyimpulkan kekayaan Kiai hanya dari ‘amplop’ tanpa investigasi keuangan yang valid adalah fitnah dan framing yang jahat. Trans7 gagal menampilkan data konkret, narasumber keuangan, atau klarifikasi seimbang, memilih jalan pintas menuju sensasi murahan.
Baca Juga : Berita Bukan Sekadar Informasi: Pilar Demokrasi dan Cermin Nurani Publik
DAMPAK DRAMATIS: Geger Nasional dan Sanksi Penyiaran
Efek dari tayangan ini jauh melampaui media sosial. Dalam kurun waktu 48 jam, protes mengalir deras dari berbagai lini:
Protes Keras PBNU dan Tuntutan Alumni
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan organisasi alumni Lirboyo (Himasal) secara resmi melayangkan kecaman keras. Himasal bahkan mengeluarkan lima tuntutan yang mendesak Trans7 untuk menarik tayangan, meminta maaf terbuka kepada publik dan Masyaih Lirboyo, serta mendesak agar Trans7 menayangkan program edukatif tentang pesantren secara utuh dan proporsional. Tuntutan ini menunjukkan betapa dalamnya luka yang ditimbulkan Trans7 (Sumber: Jatimtimes, 14/10/2025).
Trans7 Tumbang: Permintaan Maaf dan Pengakuan Lalai
Terdesak oleh tekanan publik yang masif, Trans7 akhirnya menyerah. Melalui surat resmi, mereka menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga besar Ponpes Lirboyo, mengakui adanya “keteledoran” dan “kelalaian” dalam proses penyuntingan dan penayangan, terutama karena menggunakan materi dari pihak luar tanpa sensor mendalam (Sumber: Detikcom, 14/10/2025). Pengakuan ini secara implisit membenarkan bahwa liputan mereka didasari oleh kurangnya validasi data, sebuah dosa fatal bagi jurnalisme investigasi.
Sanksi Tegas KPI: Program Kontroversial Dihentikan
Puncak dari skandal ini adalah keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sebagai lembaga pengawas media, KPI dengan cepat merespons keluhan publik dan resmi menjatuhkan sanksi: menghentikan program “Xpose Uncensored”. Ketua Komisi VIII DPR RI bahkan menilai Trans7 telah menggiring opini negatif terhadap pesantren dan merusak pilar pendidikan nasional (Sumber: FPKB DPR RI, 14/10/2025).
KESIMPULAN: Pelajaran Berharga bagi Dunia Media
Kasus Trans7 vs Pesantren Lirboyo adalah titik balik yang dramatis bagi dunia penyiaran. Ini membuktikan bahwa di tengah gempuran konten sensasional, publik, terutama komunitas pesantren, tidak akan tinggal diam terhadap penghinaan simbol agama dan tradisi.
Pesantren adalah institusi yang telah melahirkan ribuan tokoh berpengaruh, dari ulama besar hingga negarawan, seperti KH. Said Aqil Siradj, yang juga alumni Lirboyo. Mereka bukan lembaga terbelakang yang bisa dilihat dari sudut pandang materi dan sinisme urban.
Trans7 telah membayar mahal atas gagal paham ini. Pelajaran terbesarnya adalah: jurnalisme yang baik tidak boleh mengorbankan kebenaran, integritas, dan penghormatan terhadap nilai luhur bangsa demi mengejar rating atau SEO sesaat. Ketika berhadapan dengan tradisi sedalam dan seberakar pesantren, media harus meletakkan Adab di atas sensasi. Kegagalan ini menunjukkan bahwa media Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk benar-benar memahami dan menghargai marwah pendidikan karakter dan moral yang dijaga oleh pesantren selama ratusan tahun.





