Nisan Kuno Surabaya adalah 'arsip batu' peradaban Islam
Oleh: Isfandiari MD, Laporan Eksklusif dari Surabaya
𝐒𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐉𝐚𝐲𝐚𝐦𝐚𝐡𝐞 – Surabaya, 25 Oktober 2025. Di tengah hiruk pikuk modernitas Kota Surabaya, tersembunyi sebuah ‘perpustakaan’ sejarah yang tak bersuara, terbuat dari batu dan tertancap tegak di atas pusara. Inilah warisan Pernisanan—seni dan tradisi penanda makam berupa Nisan dan Jirat—yang kini didorong kembali ke permukaan kesadaran publik oleh Masyarakat Pegiat Sejarah Islam Nusantara (MAPSINU). Bagi mereka, nisan-nisan kuno di jantung ibu kota Jawa Timur ini bukan sekadar penanda akhir kehidupan, melainkan prasasti peradaban yang paling otentik dan paling tahan uji waktu, mencatat evolusi Islam di pesisir utara Jawa.
Penegasan pentingnya menjaga dan meneliti warisan budaya benda ini datang sebagai panggilan mendesak, mengingat ancaman abrasi waktu, pembangunan, dan kelalaian terhadap situs-situs bersejarah. MAPSINU menegaskan bahwa Pernisanan adalah bukti nyata perkembangan peradaban Islam di Kota Surabaya, sebuah narasi yang terukir dalam kaligrafi, aksara, dan motif hiasan.
Membaca Sejarah Lewat Batu: Definisi dan Kedalaman Pernisanan
Istilah Pernisanan secara khusus merujuk pada keseluruhan praktik seni dan tradisi yang menyertai penanda makam—nisan dan jirat—di mana inskripsi Arab, Carakan (aksara Jawa kuno), maupun motif ragam hias khas pesisir Jawa diabadikan.
Di berbagai titik vital di Surabaya, seperti di kawasan Sunan Ampel yang legendaris, Botoputih yang menyimpan misteri, Pesarean Agung Kapasan, Makam Kawatan, hingga Makam Bungkul yang populer, peninggalan ini bertebaran. Peninggalan-peninggalan ini, menurut kajian MAPSINU, melampaui nilai spiritual semata. Mereka menyimpan jejak sejarah sosial, budaya, seni, dan intelektual umat Islam sejak masa awal penyebaran di Nusantara.
“Melalui batu nisan, kita dapat membaca perjalanan Islam di Kota Surabaya. Kita bisa melihat secara langsung bagaimana dakwah berkembang, bagaimana ilmu pengetahuan tumbuh, dan yang terpenting, bagaimana budaya lokal berasimilasi dengan nilai-nilai Islam tanpa kehilangan identitasnya,” ujar Nurul Yaqin, Ketua MAPSINU, dalam wawancara pers yang penuh semangat di Surabaya.
Pernyataan Nurul Yaqin ini menggarisbawahi bahwa setiap nisan adalah babak dalam buku sejarah kota. Bentuknya yang ramping atau megah, ukirannya yang sederhana atau rumit, serta bahasanya yang beragam, semuanya berbicara tentang masyarakat yang mendirikannya. Inilah yang menjadikan studi Pernisanan sebagai studi yang multidisipliner, menjembatani arkeologi, sejarah, filologi, dan antropologi.
Akulturasi di Ujung Pesisir: Bukti Kajian Lapangan
Kajian lapangan yang dilakukan MAPSINU bersama sejumlah sejarawan dan arkeolog menunjukkan kekayaan estetika dan filosofis yang luar biasa. Bentuk-bentuk nisan kuno di Surabaya, terutama yang berasal dari abad ke-15 hingga ke-18, menampilkan corak dan teknik ukiran yang menjadi saksi bisu akulturasi seni budaya Islam, Jawa, dan bahkan peradaban lokal yang lebih tua.
Nisan-nisan yang ditemukan di berbagai lokasi seringkali menunjukkan perpaduan unik. Bentuk-bentuk nisan kuno ini menampilkan corak dan teknik ukiran yang menjadi saksi bisu akulturasi seni budaya Islam, Jawa, dan peradaban lokal. Ini adalah sintesis budaya yang cerdas, yang membuktikan strategi dakwah yang menggunakan bahasa visual yang akrab di mata masyarakat lokal.
Kajian lapangan MAPSINU bersama sejumlah sejarawan dan arkeolog menunjukkan kekayaan estetika dan filosofis yang luar biasa. Bentuk-bentuk nisan kuno di Surabaya, terutama yang berasal dari abad ke-15 hingga ke-18, menampilkan corak dan teknik ukiran yang menjadi saksi bisu akulturasi seni budaya Islam, Jawa, dan bahkan peradaban lokal yang lebih tua. Analisis mendalam terhadap motif hiasan pada jirat (kijing) seringkali mengungkapkan simbolisme kosmos yang diinterpretasikan ulang dalam bingkai tauhid, seperti motif geometris yang melambangkan keesaan dan kesempurnaan Illahi, dibalut dengan keindahan kaligrafi Arab.
Prasasti Peradaban: Lebih dari Sekadar Nama
Yang paling menarik dari warisan Pernisanan ini adalah kandungan informatifnya. Bukan hanya tahun wafat dan nama almarhum, beberapa nisan kuno memuat:
- Kaligrafi Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Doa: Menunjukkan tingkat keilmuan dan praktik keagamaan masyarakat pada masanya.
- Silsilah dan Hubungan Kekerabatan: Memberikan petunjuk vital tentang struktur sosial dan jaringan keluarga elit Muslim terdahulu, termasuk hubungan antara ulama, bangsawan, dan pedagang.
- Status Sosial dan Kekerabatan: Beberapa nisan memuat inskripsi yang memberikan petunjuk vital tentang status sosial, politik, dan hubungan kekerabatan seseorang. Hal ini memberikan data primer tentang hierarki masyarakat Muslim terdahulu di kawasan pesisir.
- Nama Tokoh Penyebar Islam: Nisan-nisan ini menjadi titik jangkar dalam memetakan jaringan dakwah pesisir yang sangat aktif antara abad ke-15 hingga ke-18. Mereka adalah guru-guru, ulama, dan pemimpin masyarakat yang membentuk fondasi Islam Nusantara.
“Ini yang membedakan nisan kuno dengan penanda kuburan modern. Pernisanan bukan hanya penanda kematian, melainkan prasasti peradaban Islam di pesisir utara Jawa. Ia adalah dokumen yang terbuat dari batu, yang merekam nilai-nilai tauhid, ilmu, hubungan kekerabatan, dan status sosial masyarakat Muslim terdahulu,” tegas Nurul Yaqin, menambahkan dimensi epistemologis pada kajian benda warisan.
Nisan-nisan ini, oleh karena itu, harus dipandang sebagai arsip terbuka yang memungkinkan sejarawan untuk melakukan verifikasi silang terhadap data-data tertulis dalam babad, serat, atau catatan kolonial. Ketika manuskrip mungkin hilang atau terbakar, batu nisan tetap tegak, menjadi saksi bisu yang gigih.
Baca Juga : Kesenian Asli Sunda: Warisan Budaya Jawa Barat Tetap Lestari
Ancaman dan Seruan untuk Sinergi
Pentingnya menjaga dan meneliti warisan ini muncul karena ancaman terhadap kelestarian nisan kuno. MAPSINU menyerukan agar pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat bersinergi dalam langkah-langkah pendataan, dokumentasi, dan konservasi nisan kuno serta situs makam bersejarah yang memiliki nilai budaya tinggi..
Menyikapi urgensi ini, MAPSINU melalui siaran persnya menyerukan agar pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat bersinergi dalam langkah-langkah konkret dan sistematis. Seruan tersebut mencakup tiga pilar utama yang harus segera direalisasikan:
1. Pendataan dan Dokumentasi Komprehensif
Langkah awal yang paling krusial adalah Pendataan dan dokumentasi nisan kuno di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Dokumentasi ini tidak boleh sekadar foto, tetapi harus mencakup transkripsi inskripsi (Arab, Carakan, dan terjemahannya), pengukuran dimensi nisan dan jirat, analisis material batu, serta pencatatan lokasi koordinat yang akurat menggunakan teknologi geospasial. Proyek ini membutuhkan kolaborasi antara Dinas Kebudayaan, arkeolog, dan ahli filologi.
2. Konservasi Situs Bersejarah yang Terukur
Pilar kedua adalah Konservasi situs makam bersejarah yang memiliki nilai budaya tinggi. Konservasi harus dilakukan secara profesional, mengikuti kaidah-kaidah konservasi warisan budaya benda. Ini termasuk pembersihan yang tepat, stabilisasi struktur nisan dan jirat, pencegahan pelapukan, dan pembangunan pagar pelindung yang tidak mengganggu estetika makam. Situs seperti Botoputih dan Kawatan yang rentan perlu mendapat prioritas tertinggi.
3. Peta Warisan sebagai Basis Riset dan Pendidikan
Pilar ketiga adalah visi jangka panjang: Penyusunan peta warisan peradaban Islam pesisir Jawa Timur sebagai basis riset dan pendidikan publik. Peta ini bukan sekadar alat navigasi, melainkan sebuah instrumen pedagogis yang dapat diakses oleh pelajar, mahasiswa, dan peneliti. Peta ini akan memvisualisasikan persebaran nisan, menghubungkannya dengan jalur perdagangan, rute dakwah, dan pusat-pusat kekuasaan, sehingga Surabaya benar-benar menjadi pusat studi peradaban Islam.
Surabaya: Laboratorium Peradaban Islam Nusantara
Jika tiga pilar ini terlaksana, dampaknya akan meluas jauh melampaui pelestarian fisik. Langkah ini akan memperkuat posisi Surabaya, yang secara historis merupakan salah satu pelabuhan terpenting di Asia Tenggara, sebagai kota bersejarah dalam peta Islam Nusantara.
Surabaya akan bertransformasi menjadi laboratorium terbuka bagi generasi muda. Alih-alih hanya belajar sejarah dari buku teks yang seringkali bersifat top-down (dari atas ke bawah), mereka dapat mempelajari sejarah Islam melalui benda-benda peninggalan yang otentik dan nyata. Mereka dapat menyentuh batu yang sama, membaca ayat yang sama, dan merenungkan nama tokoh yang sama, yang telah membentuk peradaban mereka saat ini.
Keterlibatan masyarakat lokal, terutama juru kunci makam dan komunitas sekitar, menjadi kunci keberhasilan. Mereka adalah garda terdepan yang setiap hari berinteraksi dengan warisan ini. Pelatihan dan peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai pernisanan akan mengubah mereka dari sekadar penjaga menjadi duta peradaban.
Pernisanan di Surabaya adalah cerminan kematangan Islam Nusantara: sebuah agama yang datang dan berdialog, mengukir kisah tentang ketauhidan di atas bahan lokal, dengan aksara yang beragam, dan dengan motif yang akrab. Mereka bukan sekadar monumen masa lalu, melainkan harapan masa depan, membuktikan bahwa identitas Indonesia adalah hasil dari harmoni budaya yang abadi. Kini, tinggal menunggu respons dari pemangku kepentingan untuk mengangkat arsip batu ini dari kebisuan sejarah menuju panggung apresiasi nasional.





