suami intelektual yang berjuang ikhlas namun selalu direndahkan keluarga.
Bagian I: Mahkota Intelektual yang Berkarat
Bratasena bukanlah pria yang mengandalkan otot, ia mengandalkan otak. Dengan segudang ilmu dan ide cemerlang, ia adalah definisi dari potensi yang tak terbatas. Saat pertama kali, Friska, istrinya, memuja kecerdasannya, membayangkan masa depan mewah di balik setiap rumus dan analisis yang Bratasena jelaskan. Banyak keilmuan yang ia miliki dulunya adalah mahkota kebanggaan keluarga.
Namun, takdir memiliki selera humor yang kejam. Bratasena jatuh dalam kejamnya dunia profesional yang tidak selalu menghargai kecerdasan murni. Perusahaan rintisan yang ia bangun gagal total karena penghianatan. Investasi yang ia yakini benar meleset. Ia tidak menyerah; ia mencoba lagi dan lagi.
Kini, Bratasena bekerja sebagai Konseptor,Desainer website atau penulis lepas yang hasil pekerjaannya tidak menentu, atau terpaksa mengambil pekerjaan administrasi di bawah standarnya. Ia masih bekerja keras, hanya saja hasil yang dibawa pulang tidak sesuai dengan keilmuan dan ekspektasi yang disematkan padanya. Ia berjuang untuk membawa pulang materi, tetapi di dalam hatinya, ia juga berjuang mempertahankan sisa-sisa harga diri yang terus terkikis.
Bagian II: Senjata Terhadap Logika: Sindiran dan Sarkasme
Jika Bratasena adalah seorang buruh, ia mungkin menerima cacian fisik. Karena ia seorang cerdas, ia menerima serangan verbal yang lebih mematikan, langsung menghantam pusat harga dirinya dan kecerdasannya.
Ketika Bratasena berusaha menjelaskan masalah ekonomi atau strategi bisnis yang gagal, Rina tidak lagi kagum. Kata-kata Friska kini menjadi belati yang diasah oleh kekecewaan:
“Oh, papih mau ceramah lagi tentang ekonomi? Analisismu memang canggih, sena, tapi kenapa output-nya cuma segini? Kecerdasanmu itu bisa dibuat bayar tagihan listrik tidak?”
“Sudahlah, sena ( panggilan untuk bratasena ). Ide-ide cemerlangmu itu hanya laku di meja warung kopi. Di rumah ini, kami butuh uang tunai, bukan konsep!”
Setiap sindiran itu merobek-robek Bratasena. Ia tahu Friska benar secara finansial, tetapi ia tidak melihat perjuangan tanpa henti Bratasena melawan depresi, melawan rasa malu karena ‘gagal’, dan melawan keharusan untuk tetap menggunakan otaknya demi mencari celah rezeki. Bratasena berjuang untuk tetap relevan di mata dunia, dan yang lebih penting, di mata keluarganya. Ia menelan semua perendahan itu, berharap keikhlasannya dalam menanggung beban akan membawa ketenangan.
Bagian III: Beban Beratnya Penyesalan dan Keikhlasan yang Tertunda
Keikhlasan Bratasena kini bercampur dengan penyesalan yang dalam. Ia merasa bersalah karena tidak mampu mewujudkan janji kemewahan yang dulu ia ikrarkan dengan kepercayaan diri tinggi.
Bratasena tetap bekerja. Ia menghabiskan malam di depan layar komputernya, menulis, mendesain, atau menganalisis, sampai matanya perih. Ia melakukan ini dengan keikhlasan seorang kepala keluarga yang ingin menafkahi, tetapi di balik keikhlasan itu ada jeritan batin seorang pria cerdas yang merasa takdir telah mengkhianatinya.
Ia tidak pernah meminta Friska untuk memuji ide-idenya yang kandas. Ia hanya berharap Friska melihat usahanya untuk beradaptasi dan terus berjuang meski harus mengorbankan egonya sebagai seorang intelektual.
Monolog Batin Bratasena: Aku bisa membaca data, memprediksi pasar, dan menyusun strategi yang rumit. Tapi aku gagal membaca satu hal: bagaimana menenangkan hati istriku. Aku gagal memprediksi bahwa kecerdasanku akan menjadi senjata yang digunakan untuk menghukumku di rumah ini. Aku ikhlas menerima nasibku, ya Tuhan, tapi mengapa mereka tidak ikhlas menerima hasilku? Aku hanya butuh dukungan di balik pintu rumah ini, tetapi yang kudapat hanyalah dukacita dan makian yang terbuang sia-sia.
Bagian IV: Anak-Anak dan Penghakiman Akademis
Anak-anak Bratasena pun terlibat dalam penghakiman ini. Mereka sering mendengar Friska menghela napas, “Lihat Papah. Pintar keilmuan, tapi tidak pintar cari uang.”
Anak sulungnya yang cerdas pun mulai meremehkan nasihat papahnya. “Papah, kenapa aku harus belajar keras kalau nanti kerjanya cuma seperti Papah? Lebih baik aku cari jalan pintas saja.”
Kalimat itu adalah kiamat kecil bagi Bratasena. Ia telah memberikan warisan ilmu, ia telah mengajarkan integritas dalam bekerja, tetapi yang dilihat anaknya hanyalah kegagalan finansial. Warisan yang paling ia banggakan—kecerdasannya dan etika kerjanya—telah terdistorsi menjadi simbol kegagalan. Duka di balik pintu rumahnya kini menular ke generasi berikutnya.
Baca Juga : Puncak yang Sunyi: Mengapa Kesombongan Selalu Menjadi Akar Kejatuhan
Bagian V: Mencari Validasi di Tengah Kekosongan
Bratasena kini hidup dalam ruang hampa. Di luar, ia berusaha keras mempertahankan citra profesional. Di dalam, ia adalah suami dan papah yang tak berguna.
Ketika Bratasena pulang dan mencoba berbagi tentang tantangan pekerjaannya, Friska akan memotongnya, “Aku tidak peduli dengan teori-teorimu, Sena. Berikan saja beras dan uang untuk keperluan sehari hari.”
Perendahan itu tidak hanya tentang uang. Itu adalah penolakan total terhadap jati diri Bratasena. Mereka tidak menghargai proses berpikirnya, energi mentalnya, atau bahkan kelelahan otaknya. Mereka hanya peduli pada bukti material bahwa kecerdasan yang ia sandang itu ‘berguna’.
Kisah Bratasena adalah peringatan keras bagi kita semua: Harga diri seorang pria tidak boleh hanya diukur dari saldo banknya. Seseorang yang cerdas, pekerja keras, dan jujur—sekalipun sedang terpuruk dalam karier—layak mendapatkan dukungan mental dan validasi emosional dari keluarganya.
Untuk setiap Bratasena yang berjuang keras menggunakan otaknya di tengah tekanan finansial: Anda luar biasa. Keikhlasan Anda dalam terus berjuang, meski dengan luka batin yang dalam, adalah bukti bahwa kecerdasan terbesar ada di hati, bukan hanya di kepala.
Semoga suatu hari, keluarga Bratasena menyadari bahwa perjuangan sunyi yang selama ini mereka lihat sebagai kegagalan adalah keikhlasan tertinggi seorang suami, dan bahwa mereka telah menukar dukungan tulus dengan makian yang meracuni, membiarkan jiwa yang berjuang itu terbuang dalam duka yang tersembunyi di balik pintu rumah.
Bagian VI: Secercah Harapan dan Permintaan Terakhir
Di tengah kekosongan dan luka yang menganga, Bratasena masih menyimpan secercah harapan. Bukan harapan untuk menjadi kaya mendadak, melainkan harapan yang jauh lebih sederhana: harapan akan pengakuan.
Ia berharap, suatu pagi, saat ia bersiap pergi bekerja dengan pakaian lusuh namun pikiran penuh ide, Friska akan memegang tangannya dan berkata, “Sena, terima kasih. Aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku bangga padamu.”
Sebuah kalimat tulus seperti itu, bagi Bratasena, akan jauh lebih bernilai daripada cek bernilai miliaran. Itu adalah obat penawar untuk semua makian dan sindiran yang selama ini ia telan.
Kisah Bratasena bukan hanya tentang kegagalan finansial. Ini adalah kisah tentang erosi jiwa yang terjadi ketika cinta tidak diterjemahkan menjadi dukungan. Ini adalah jeritan hati yang memohon agar keluarga melihat pria di balik kegagalan, melihat keikhlasan di balik kekurangan.
Wahai setiap pembaca, setiap istri, dan setiap anak: Jika di rumah Anda ada seorang pejuang yang berjuang dalam sunyi, berhentilah sejenak.
Permintaan Terakhir:
Jangan tanyakan berapa uang yang ia bawa pulang hari ini. Tanyakan: “Apakah bebanmu terasa berat, Papa? Mari kita pikul bersama.”
Jangan bandingkan ia dengan yang lain. Hargailah fakta bahwa ia pulang ke rumah Anda dan masih memilih untuk berjuang demi Anda, meskipun ia tahu ia akan kembali disambut oleh duka di balik pintu rumah.
Keikhlasan Bratasena yang terbuang sia-sia ini adalah pengingat bahwa harta termahal dalam rumah tangga bukanlah kemewahan, melainkan validasi emosional dan apresiasi yang tulus. Jangan biarkan perjuangan sunyi ini berakhir sebagai penyesalan yang terlambat. Lihatlah Bratasena, sebelum ia benar-benar lelah dan memutuskan untuk berhenti membawa pulang bukan hanya uang, tetapi juga hatinya.
Penulis : Bratasenaku (kegelisahan hati)







