Syaikhona Kholil (guru NU) & Gus Dur (Presiden RI ke-4) dianugerahi Pahlawan Nasional 2025.
Jakarta, 11 November 2025 – Dalam daftar 10 tokoh yang baru saja dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada 6 November 2025, dua nama besar dengan akar Nahdlatul Ulama (NU) menonjol. Mereka adalah Syaikhona Muhammad Kholil dari Bangkalan, Madura, dan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia. Keduanya merepresentasikan spektrum perjuangan yang berbeda namun saling melengkapi: seorang ulama legendaris sebagai peletak dasar keilmuan Islam Nusantara, dan seorang negarawan-pemikir yang menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam praktik demokrasi dan kemanusiaan.
Penganugerahan ini bukan sekadar pengakuan atas individu, tetapi juga penghargaan atas warisan intelektual, spiritual, dan politik yang telah membentuk wajah Indonesia.
Syaikhona Muhammad Kholil: Sang Maha Guru dari Bangkalan
Syaikhona Muhammad Kholil, atau yang akrab disapa Syaikhona Kholil, adalah salah satu ulama terbesar yang pernah dimiliki Nusantara, berasal dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Beliau lahir pada Rabu malam Kamis, 9 Safar 1252 H (25 Mei 1835 M) di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Pulau Madura. Beliau adalah putra dari pasangan KH. Abdul Latif dan Nyai Siti Khadijah.
Sejak kecil, Syaikhona Kholil tumbuh dalam lingkungan keluarga religius yang sangat dihormati di kalangan masyarakat Bangkalan. Sang ayah, KH. Abdul Latif, adalah seorang ulama besar yang memiliki harapan besar agar putranya dapat melanjutkan tongkat estafet perjuangan leluhurnya, Kanjeng Sunan Gunung Jati, dalam menegakkan syiar Islam di Tanah Jawa. Harapan ini ternyata bukan sekadar cita-cita kosong; Syaikhona Kholil memang ditakdirkan untuk menjadi mercusuar ilmu dan spiritualitas.
Bakat istimewa Syaikhona Kholil sudah terlihat sejak usia muda. Ia memiliki kemampuan menghafal yang luar biasa, terbukti dengan kemampuannya menghafal seribu bait nadzam kitab Alfiyah Ibnu Malik—sebuah kitab tata bahasa Arab yang sangat kompleks—serta dengan cepat menguasai ilmu fikih dan nahwu. Setelah mendapatkan pendidikan dasar yang kokoh dari sang ayah, ia kemudian memulai perjalanan panjang pencarian ilmu ke berbagai pondok pesantren terkemuka di Madura dan Jawa. Masa ini dikenal sebagai periode pertama dalam perjalanan akademiknya yang intens.
Tahap berikutnya yang tak kalah penting adalah periode Makkah, di mana Syaikhona Kholil memperdalam berbagai cabang ilmu agama di Tanah Suci. Di sana, ia berguru kepada sejumlah ulama besar dan terkemuka, di antaranya adalah Syaikh Ali Rahbini. Pengembaraan ilmu di Makkah ini semakin mengokohkan keilmuannya dan memperluas wawasannya tentang Islam dalam konteks global.
Pada tahun 1863 M, atas perintah gurunya di Makkah, Syaikhona Kholil kembali ke tanah air. Setibanya di Bangkalan, ia mendirikan Pondok Pesantren di Desa Jengkebuan. Pesantren ini dengan cepat berkembang pesat dan menarik santri dari berbagai daerah di seluruh Nusantara, menjadi pusat pengajaran ilmu agama yang sangat dihormati. Setelah beberapa tahun mengelola pesantren tersebut, Syaikhona Kholil menyerahkan kepemimpinan kepada menantunya, KH. Muntaha (KH. Thoha bin KH. Kaffal), dan pindah ke Desa Kademangan (Demangan) untuk melanjutkan kegiatan mengajar dan berdakwah.
Sebagai ulama yang sangat menguasai berbagai disiplin ilmu, terutama nahwu-sharaf (tata bahasa Arab), hadis, dan fikih, Syaikhona Kholil dikenal dengan julukan agung “Syaikh al-Jawiyyin” atau mahaguru para ulama Jawa. Gelar ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan keluasan ilmunya yang menjadi rujukan bagi banyak ulama lain di Jawa dan sekitarnya.
Tercatat bahwa sekitar 500.000 santri pernah menimba ilmu darinya, sebuah angka yang fantastis dan menunjukkan skala pengaruhnya yang tak tertandingi. Dari jumlah tersebut, 3.000 di antaranya kemudian menjadi pemimpin umat di berbagai wilayah Indonesia, menyebarkan ajaran dan semangat keilmuan yang mereka dapatkan langsung dari Syaikhona Kholil.
Selain sebagai pendidik ulung, Syaikhona Kholil juga dikenal gemar menulis. Ia menyalin kitab Alfiyah Ibnu Malik—yang dulu pernah ia hafal—dan menghasilkan berbagai karya berupa syair serta kisah hikmah bernilai moral tinggi. Jejaknya dalam penyebaran Islam di Nusantara dan rekomendasinya bagi berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah untuk mengorganisir dakwah dan pengaruh para kiai di Indonesia, menjadikannya tokoh kunci dalam sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.
Baca Juga : Daftar Lengkap 10 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Prabowo 2025
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Bapak Pluralisme dan Demokrasi
Dari tradisi pesantren yang kokoh, muncul seorang pemikir dan negarawan yang menerangi jalan demokrasi dan pluralisme Indonesia: K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur. Presiden ke-4 Republik Indonesia ini adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah bangsa. Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940, Gus Dur berasal dari keluarga besar ulama yang memiliki peran sentral dalam pendirian Nahdlatul Ulama (NU).
Ia adalah putra dari KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama Indonesia, dan cucu langsung dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri dari KH. Bisri Syansuri, pendiri Pesantren Denanyar Jombang. Lingkungan keluarga yang sarat dengan tradisi pesantren dan nilai-nilai Islam moderat sejak kecil membentuk karakter Gus Dur yang terbuka, cerdas, dan kritis. Pergaulannya yang luas dengan para tokoh politik dan ulama sejak ayahnya menjabat sebagai menteri membuatnya terbiasa dengan diskusi sosial dan keagamaan sejak usia muda.
Perjalanan hidup Gus Dur penuh liku. Kecelakaan tragis yang menewaskan ayahnya pada tahun 1953 menjadi titik awal kedewasaannya dalam memaknai tanggung jawab dan kehidupan publik. Pendidikan Gus Dur mencerminkan perpaduan unik antara dunia pesantren dan modernitas. Setelah menempuh pendidikan dasar, ia melanjutkan ke SMEP Yogyakarta, sebuah sekolah Katolik. Pengalaman di sekolah Katolik ini justru membuka wawasannya terhadap pluralisme dan toleransi, nilai-nilai yang kelak menjadi ciri khas pemikirannya.
Di sela sekolah, Gus Dur aktif mengaji di Pesantren Krapyak dan berdiskusi dengan para tokoh Muhammadiyah. Dari interaksi inilah kecintaannya pada ilmu, filsafat, dan humor tumbuh subur. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tegalrejo dan Tambak Beras, tempat ia mulai dikenal sebagai santri yang cerdas, kritis, dan nyentrik.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur menunaikan ibadah haji, kemudian menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo. Namun, sistem pendidikan yang tak sesuai ekspektasinya membuatnya melanjutkan perjalanan akademik ke Baghdad. Perjalanan keilmuannya tak berhenti di sana; ia sempat singgah di Belanda dan Kanada, menyerap beragam pemikiran dunia, mulai dari teologi hingga sosialisme. Di negara-negara tersebut, ia bekerja serabutan untuk bertahan hidup, namun tetap aktif berdiskusi dan membaca karya-karya pemikir dunia seperti Karl Marx, Plato, hingga Imam Al-Ghazali.
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1971, Gus Dur memilih jalur kebudayaan dan pendidikan sebagai wadah perjuangan. Ia aktif menulis, mengajar, dan membangun gagasan Islam yang inklusif. Lewat tulisannya seperti Bunga Rampai Pesantren, Gus Dur mendorong modernisasi lembaga pesantren agar tidak hanya menjadi pusat keagamaan, tetapi juga agen pemberdayaan sosial dan politik. Ia menolak pandangan sempit yang mengkotakkan Islam dari kehidupan sosial, dan justru melihat pesantren sebagai kekuatan moral bangsa.
Tahun 1984 menjadi tonggak penting ketika Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Di bawah kepemimpinannya, NU kembali ke Khittah 1926, menegaskan diri sebagai organisasi sosial-keagamaan yang independen dari politik praktis. Di sisi lain, Gus Dur dikenal lantang membela minoritas dan memperjuangkan kebebasan berpendapat. Pemikirannya tentang Islam Nusantara dan pluralisme menjadi fondasi penting bagi wajah Islam moderat Indonesia.
Pasca tumbangnya rezim Soeharto pada 1998, Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dukungan kuat dari poros tengah mengantarkannya terpilih sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia pada 20 Oktober 1999. Sebagai presiden, Gus Dur membawa semangat rekonsiliasi nasional, membebaskan tahanan politik, menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan memulihkan kebebasan pers. Meski masa kepemimpinannya singkat karena pemakzulan politik pada 2001, ia dikenang sebagai simbol demokrasi dan kemanusiaan.
Sebagai sosok yang humoris dan sering disalahpahami, Gus Dur menyimpan ketajaman berpikir yang luar biasa. Ia memandang agama sebagai sumber etika sosial, bukan alat politik. Dalam banyak gagasannya, ia menekankan pentingnya dialog antaragama, kesetaraan warga negara, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. “Gitu aja kok repot,” ujarnya suatu kali, bukan sekadar candaan, tetapi filosofi hidup yang mencerminkan kesederhanaan dalam memandang kompleksitas dunia.
Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta, dan dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang. Hingga kini, warisannya tetap hidup, dalam sejarah politik, juga dalam cara bangsa ini memahami makna kebebasan, toleransi, dan kemanusiaan. Bagi banyak orang, Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Indonesia yang mengajarkan bahwa kemuliaan manusia jauh melampaui sekat-sekat agama dan ideologi.
Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Syaikhona Kholil dan Gus Dur adalah pengakuan atas perjuangan mereka dalam membentuk identitas bangsa. Satu sebagai guru spiritual yang menerangi jiwa, yang lain sebagai negarawan yang membuka cakrawala pemikiran. Keduanya adalah cerminan kekayaan warisan NU dan Indonesia.






Semoga dg tulisan ini dapat menjadi khasanah pengetahuan bagi banyak orang tentang bahwa begitu banyaknya tokoh yang melegenda di Republik ini