Beratnya berjuang ditengah orang orang yang membencimu
Langit tak selalu biru. Kadang ia kelabu, kadang gelap, kadang terasa runtuh di atas kepala. Begitulah rasanya ketika kau memilih untuk bermimpi besar di tengah dunia yang lebih senang melihatmu jatuh. Ketika langkahmu menuju kesuksesan justru memantik cemooh, bukan tepuk tangan. Ketika keberanianmu untuk berbeda dianggap ancaman, bukan inspirasi.
Berjuang di antara orang-orang yang membencimu bukan sekadar ujian mental—itu adalah pertarungan batin yang sunyi. Mereka tak melihat kerja kerasmu di balik layar, tak tahu malam-malam panjangmu ditemani kopi dingin dan layar laptop yang menyala. Mereka hanya melihat hasil, lalu mencibir. Mereka tak tahu bahwa setiap keberhasilanmu adalah hasil dari luka yang kau bungkus rapi dengan senyum.
Kau berjalan sendirian. Kadang bertanya, “Apa salahku?” Padahal satu-satunya ‘kesalahan’mu adalah berani bermimpi lebih tinggi dari batas yang mereka tetapkan. Kau dianggap sombong karena kau tak tunduk. Kau dicap ambisius karena kau tak berhenti. Tapi justru di sanalah letak kekuatanmu.
Kebencian mereka adalah cermin. Kau bisa memilih untuk melihat dirimu sebagai korban, atau sebagai pejuang. Kau bisa tenggelam dalam keraguan, atau kau bisa menjadikannya bahan bakar. Karena orang-orang yang membencimu tak akan pernah bisa mengalahkanmu—selama kau tak menyerah pada dirimu sendiri.
Dan ketika akhirnya kau berdiri di puncak, mereka akan berkata, “Beruntung sekali dia.” Mereka tak tahu bahwa keberuntunganmu adalah hasil dari luka yang tak kau tunjukkan, dari air mata yang kau telan diam-diam, dari doa yang kau bisikkan di antara rasa putus asa.
Berjuang di tengah kebencian adalah seni bertahan. Bukan untuk membalas, tapi untuk membuktikan bahwa cahaya tak pernah padam meski dikelilingi gelap. Bahwa kejayaan sejati bukan soal pujian, tapi soal keberanian untuk tetap melangkah meski tak ada yang mendukung.
Jadi teruslah berjalan. Meski sendirian. Meski dicemooh. Karena suatu hari, dunia akan tahu: bahwa dari luka-luka itulah, lahir seorang juara.








Bukan seberapa hebat kamu menulis, tapi seberapa mau kamu berbagi cerita.